Menyajikan Berbagai Berita, Peristiwa dan Informasi di Seputar Kota Kabupaten Blora dan Sekitarnya

Minggu, 18 November 2018

Revolusi Kelor dari Blora

Jumiati (38), warga Desa Ngawenombo, Blora, Jawa Tengah, Minggu (18/11/2018), memetik daun kelor yang ia tanam di tepi jalan depan rumahnya.
BLORA, SUARA BLORA ~ Jumiati (38), warga Desa Ngawenombo, Blora, Jawa Tengah, Minggu (18/11/2018), memetik daun kelor yang ia tanam di tepi jalan depan rumahnya. Warga di tepi hutan jati kini terbiasa mengonsumsi tanaman kelor yang ternyata kaya nutrisi dan mudah mengolahnya. Sumi dan sejumlah warga mengolah kelor menjadi dodol untuk dijual ke pasar maupun lewat pemasaran daring. Berkat kelor, warga mendapat tambahan penghasilan. Selain itu, anak-anak dan orangtua bertambah sehat.

Jumiati (38), warga Desa Ngawenombo, Kecamatan Kunduran, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, dua tahun terakhir tak lagi hanya mengandalkan singkong dan jagung untuk memenuhi asupan nutrisi keluarga. Dia kini mengolah tanaman kelor (Moringa oleifera).

”Saya mencampur daun kelor dengan sayur bayam atau sayur pepaya. Setelah mengonsumsi kelor, saya dan keluarga jadi jarang sakit,” ujar ibu satu anak itu, Minggu (18/11/2018).

Desa Ngawenombo bukan desa maju. Seperti kebanyakan perkampungan di tepian hutan jati Blora, warga mengandalkan pertanian palawija, di antaranya jagung, singkong, dan kedelai. Hasilnya pun pas-pasan. Oleh karena tidak ada jaringan irigasi besar, sawah padi sangat sedikit.

Infrastruktur yang buruk menyebabkan desa yang terletak sekitar 45 kilometer barat laut pusat kota Blora tersebut relatif terkucil. Apalagi, dari desa tetangga terdekat, Kedungwaru, hanya terhubung jalan tanah membelah hutan lebat sepanjang 2,5 kilometer. Saat hujan turun, jalanan menjadi becek dan berlumpur. Kendaraan bermotor susah lewat.

Sugianto (38), warga Ngawenombo lain, menuturkan, sebagian besar warga merupakan buruh tani ladang jagung berpenghasilan Rp 1 juta setahun. Kecukupan gizi menjadi masalah utama. Jauh dari pasar, warga sulit mengakses bahan makanan berkualitas, seperti wortel, telur, dan daging ayam. Jika ada, tiada uang untuk membeli.

Hal ini diakui Masrukin, Kepala Desa Ngawenombo. Padahal, dari 1.600 penduduk desa, sekitar 40 persen merupakan anak-anak dan orang muda yang perlu gizi tinggi. ”Program peningkatan nutrisi untuk masyarakat kurang mampu belum terprogram,” ujarnya.

Sebagian warga memelihara ayam. Bukan untuk persediaan pangan, melainkan sebagai tabungan untuk dijual saat butuh uang. Hampir 60 persen rumah warga berlantai tanah.

”Warga sakit pun hanya diobati secara tradisional. Sebab, kami jauh dari puskesmas. Untuk ke puskesmas yang berjarak lebih dari 5 kilometer, jalannya berlumpur. Warga hanya bisa pasrah,” kata Agus, warga lain.

Revolusi Nutrisi

Namun, semua berubah berkat tanaman kelor yang dikenalkan Aa Dudi Krisnadi dan Moringa Organik Indonesia (MOI). Warga tak hanya diajari menanam, tetapi juga mengolah makanan berbahan dasar daun kelor. Kini, warga mempunyai sedikitnya 2-5 pohon kelor di pelataran rumah. Menurut Masrukin, setelah dua tahun, daun kelor menjadi makanan berkhasiat menjaga kebugaran warga.

MOI merupakan rumah konservasi yang didirikan Aa Dudi Krisnadi, penggiat tanaman kelor dengan pengalaman lebih dari 15 tahun di Nusa Tenggara Timur (NTT). Dudi sudah 10 tahun tinggal di Kunduran, Blora, tempat asal Titik, istrinya.

Ditemui di Pusat Pemberdayaan Kelor di Ngawenombo, yang dinamakan Rumah Revolusi Nutrisi, Dudi menyatakan, ingin kelor menjadi media pemberdayaan masyarakat desa tepi hutan sekaligus meningkatkan nutrisi warga desa secara mandiri dan murah.

”Tanaman kelor, terutama daun, biji, dan bunga, mengandung 18 elemen asam amino yang diperlukan untuk membangun tubuh sehat dan kuat. Kandungan asam amino pada kelor paling tinggi dibandingkan sumber makanan lain. Hal itu terbukti dalam program nutrisi kelor di kawasan Afrika dan di NTT,” ujar Dudi yang berasal dari Pangandaran, Jawa Barat.

Setelah tinggal di Blora, banyak relasi, terutama dari luar negeri, mengunjungi dia. ”Setiap berkunjung, mereka bertanya, kok tidak punya kebun kelor di Kunduran. Itu yang bikin saya risih dan terpacu mengembangkan kebun di sini,” katanya.

Pada 2015, Dudi merintis kampung konservasi kelor. Desa Ngawenombo dipilih setelah bertemu dengan Agus, pemilik kebun yang juga bersemangat membuka perkebunan kelor. Kebun itu berada di tengah hutan, berdampingan dengan hutan jati dan ladang tebu.

Selain kebun kelor seluas 3 hektar, mereka juga mengembangkan Rumah Revolusi Nutrisi MOI di lahan seluas 1,5 hektar. Di rumah MOI, warga, termasuk para tamu, diajak mengenal kelor. Mereka diajari mulai dari pengolahan lahan, pembibitan, perawatan, hingga cara pemanenan dan pengolahan secara rinci.

Sejak 2015, lahan singkong di belakang permukiman warga berubah menjadi perkebunan kelor. Pohon dibuat pendek, setinggi 1 meter dari aslinya yang bisa mencapai 5 meter-6 meter. Hal itu memudahkan saat memanen. Sekali pemetikan melibatkan lebih dari 60 warga yang masing-masing bisa mendapat upah hingga Rp 1 juta.

Kandungan nutrisi kelor hasil panen kebun di Blora mampu mengungguli produk serupa di NTT. Struktur unsur hara di Ngawenombo sangat baik untuk pertumbuhan kelor.

Manfaat Ekonomi

Manajer Kebun Kelor Desa Ngawenombo Bambang Purwanto menuturkan, selain nutrisi, warga diharapkan mendapat penghasilan tambahan dari olahan kelor. Mereka diajari mengolah kelor untuk berbagai campuran makanan, seperti dodol kelor dan brem, hingga minyak kelor untuk keperluan kosmetik.

”Warga juga diajari membuat pupuk dan pakan ternak untuk kambing, sapi, dan ayam. Pupuk dari bahan kelor sangat baik untuk sayuran maupun palawija,” ujar Bambang.

Ibu Wiwik, misalnya, mengaku setiap panen bisa membuat 6 kilogram-10 kilogram dodol kelor. Selain dikonsumsi sendiri, dodol kelor juga dijual ke pasar tradisional di Kunduran dan Tondanan. Bahkan, kini juga lewat pemasaran dalam jaringan (daring). ”Dari usaha dodol, ada tambahan penghasilan Rp 600.000,-/hari” ujarnya.



Nilai ekonomi kelor cukup besar. Daun yang diolah menjadi serbuk dihargai Rp 2 juta per kilogram. Minyak hasil olahan biji kelor laku Rp 2,5 juta per liter. Pengolah juga tidak repot karena pembeli datang sendiri, termasuk pemasaran daring.

Yang membanggakan warga, Ngawenombo yang dulu sunyi kini ramai dikunjungi. Bukan hanya dari Indonesia, melainkan juga dari Jerman, Israel, Haiti, Malaysia, Perancis, Yaman, Qatar, Kanada, Amerika Serikat, Belgia, dan Australia.

Layaknya peribahasa, dunia tak selebar daun kelor. Bagi warga Ngawenombo, kelor benar-benar memberikan harapan baru, dunia dengan banyak kesempatan baru bagi yang ingin terus berusaha dan pantang menyerah.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

SUARA BLORA MENYAJIKAN INFORMASI BERITA PERISTIWA SEPUTAR WILAYAH KOTA BLORA DAN SEKITARNYA

Sponsor