Menyajikan Berbagai Berita, Peristiwa dan Informasi di Seputar Kota Kabupaten Blora dan Sekitarnya

Minggu, 18 November 2018

Dudi Krisnadi dan Revolusi Kelor

Dudi Krisnadi Pemilik Moringa Organik Indonesia, Blora
Blora, SUARA BLORA ~ Resah melihat potensi orang muda desa-desa tepian hutan di Kabupaten Blora, Jawa Tengah yang kurang gizi, Dudi Krisnadi tergerak. Lewat daun kelor, dia tak saja menambah asupan nutrisi warga, tetapi turut membuka ketertinggalan mereka dari dunia luar.

“Bila memikirkan masa depan Indonesia, muncul kegelisahan saat melihat potensi hebat anak-anak muda desa di tepi hutan. Banyak dari tunas-tunas muda itu kekurangan gizi dan nutrisi,” tutur Dudi, pendiri Kampung Konservasi Kelor Desa Ngawenombo, Kecamatan Kunduran, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, ditemui Minggu (18/11/2018).

Dudi berkaca pada data statistik yang menyebutkan bakal terjadi bonus demografi pada 2035 yang memungkinkan sekitar 70 persen warga Indonesia saat itu didominasi generasi muda. Untuk itu, generasi muda bangsa, harus kuat, sehat, tidak mudah sakit, dan terhindar dari stunting sehingga mampu bersaing dengan bangsa lain.

Kegelisahan Dudi dimulai sejak 2005 saat menjadi pemerhati dan pemberdaya warga desa tepi hutan. Saat itu, dia ikut melakukan survei di sekitar 6.000 desa-desa tepi hutan di Jawa dan Madura. Sebagian besar warganya hidup memprihatinkan, tak punya lahan luas, dengan pilihan tanaman pangan terbatas.

Kekurangan gizi terjadi akibat kemiskinan. Masa depan mereka bergantung ketersediaan nutrisi serta makanan bergizi yang mudah terjangkau dan murah

Mereka menumpang bertani di lahan milik Perhutani. Jauh dari sumber irigasi besar, menyebabkan petani desa hutan hanya menanam jagung, kedelai, dan sayuran. Infrastruktur desa pun minim, akses jalan terbatas dan pusat kesehatan jauh.

“Kekurangan gizi terjadi akibat kemiskinan. Masa depan mereka bergantung ketersediaan nutrisi serta makanan bergizi yang mudah terjangkau dan murah,” ujar Dudi.

Dudi Krisnadi Perintis Kampung Konservasi Kelor Desa Ngawenombo, Kecamatan Kunduran, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.

Beruntung, Dudi pernah menjadi pengurus International Association Agricultura Student (IAAS) Region Asia Pasifik, 1993-1994. Kegiatannya, salah satunya peningkatan nutrisi melalui potensi tanaman lokal. Pada kasus kelaparan di Afrika, masyarakat di sana dapat diselamatkan lewat penyebaran produk berbahan baku daun kelor (Moringa oleifera).

Disponsori badan kesehatan dunia (World Health Organization/WHO) dan organisasi pangan dunia (Food and Agricultura Organization/FAO) dan lainnya, kampanye kelor jadi senjata ampuh meningkatkan kecukupan nutrisi penduduk negara miskin.

Sekitar 2001, kampanye kelor sampai ke Tanah Air, tepatnya di Nusa Tenggara Timur (NTT). Selama 15 tahun, Dudi ikut mengembangkan penanaman puluhan ribu hektar pohon kelor. Kelor menjadi tanaman ampuh membantu warga, tak hanya NTT tetapi juga di daerah miskin lainnya.

“Tanaman kelor dapat dimanfaatkan mulai dari biji, daun hingga bunganya. Kelor itu bukan obat, namun digolongkan sebagai bahan suplemen untuk tambahan nutrisi,” ujar Dudi.

Menepis unsur mistis

Kehadiran Dudi di Blora, dimulai sejak 10 tahun lalu, saat menikah dengan Titik, warga Kunduran. Dia kerap tinggal lama di kampung istrinya. “Banyak relasi menanyakan apa ada kebun kelor di Kunduran. Itu membuat saya terusik,” ujar Dudi.

Akhirnya, pada 2015, dia bekerja sama dengan Agus, seorang juragan pemilik kebun tebu di Desa Ngawenombo, daerah pelosok berjarak 7 kilometer dari pusat kecamatan Kunduran. Desa itu terletak di tepi hutan jati.

Kalau ada orang kesurupan atau maling yang kebal, biasanya pulih atau ilmu hitamnya rontok setelah disabeti tubuhnya pakai pohon kelor

Akhirnya, di lahan seluas 3 hektar bekas lahan tebu, Dudi dan pekerjanya merintis kebun kelor. Pada awalnya, warga menentangnya. Warga sekitar kebun hingga sejumlah perangkat desa, marah dan mengusirnya. Pernah, suatu kali, tanaman kelor yang sudah mekar di tengah perkebunan tebu, dicabuti. Usut punya usut ternyata kelor turun temurun dianggap mistis dan tanaman pengusir setan.

“Jadi, kalau ada orang kesurupan atau maling yang kebal, biasanya pulih atau ilmu hitamnya rontok setelah disabeti tubuhnya pakai pohon kelor,” cetus Dudi.

Akhirnya, dibantu beberapa relasi Dudi dari luar negeri, secara bertahap, warga Ngawenombo bisa menerima pengembangan tanaman kelor di desa mereka. Hingga kini, telah tertanam lebih dari 70.000 pohon. Pohon kelor sengaja dibuat bonsai, setinggi hanya 1,5 meter dan daun-daunnya dipotong rata sehingga dari jauh mirip perkebunan teh.

Setelah usianya dua tahun, kelor bisa dipanen. Setiap panen, Dudi melibatkan lebih dari 50 warga sekitar dengan total upah petik mencapai Rp 60 juta. Dia mengajari cara pengolahan, penanganan, dan mengedukasi pemanfaatan daun kelor untuk menambah gizi dan nutrisi keluarga.

Dudi juga membagikan bibit kelor ke warga, supaya bisa ditanam di rumah masing-masing sehingga bisa memanen untuk konsumsi harian.

Revolusi kelor

Kampung Konservasi Kelor di Ngawenombo, menjadi tonggak bagi Dudi memulai revolusi nutrisi murah dan terjangkau. Kampung itu diberi semboyan, “Kelor, The Spirit of Blora”. Di kompleks itu, Dudi juga membangun Puri Kelor Indonesia bernama Kelorina sebagai pusat pendidikan dan pelatihan kelor.

Dudi Krisnadi merintis perkebunan kelor di Desa Ngawenombo, Kecamatan Kunduran, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
Dia juga membangun Laboratorium Moringa at Fertilezer, untuk pembelajaran pupuk organik dari kelor, berikut kebun percontohan tanaman holtikulutra yang berkembang dari hasil pupuk organik kelor.

Melalui unit usaha PT Moringa Organik Indonesia, daun kelor dari kebun di Ngawenombo, diolah menjadi serbuk dan juga minyak. Produk olahan berbahan kelor itu sepenuhnya digarap oleh pekerja, warga setempat, yang sudah mendapat pelatihan.

Kampung Konservasi Kelor juga membuka peluang bagi kalangan umum untuk belajar pengolahan kelor. Peserta pelatihan mulai dari perorangan hingga rombongan. Peserta dari luar kota, disediakan rumah inap (homestay). Perlahan, kelor juga menjadi daya tarik wisata desa. Tak hanya domestik, pengunjung dari luar negeri tercatat sudah berasal dari 13 negara, di antaranya Israel, Haiti, dan Amerika Serikat. Pengunjung yang datang ke Puri Kelorina, selain belajar seluk-beluk tanaman kelor, juga bisa menikmati hidangan makanan berbahan kelor yang menjadi menu wajibnya.

Di Laboratorium Moringa, pengolahan kelor terus dikembangkan. Tak hanya daun yang diolah, biji dan bunga mulai dimanfaatkan untuk bahan komestik dalam bentuk krim, sabun, parfum, hingga pomade.

Ibu-ibu setempat dilatih membuat aneka makanan seperti dodol, puding, cincau, es krim, ekstrak, dan serbuk kelor. Mereka yang mahir membuat dodol kelor, memperoleh tambahan penghasilan antara Rp 500.000 dan Rp 1 juta per bulan.

Warga Ngawenombo kini bangga, desa mereka berperan dalam peningkatan gizi masyarakat. Kelor telah mengangkat peradaban desa di tepian hutan jati tersebut.


Dudi Krisnadi
Lahir: Pengandaran, 15 Maret 1969
Istri: Titik Marwiyah
Pendidikan: Sarjana Agronomi, Fakultas. Pertanian Universitas Siliwangi, Tasikmalaya

Aktivitas :
– Pemilik Moringa Organik Indonesia, Blora
– Pemerhati Masyarakat Desa Hutan
– Pendiri Taruna Desa Hutan Indonesia
– Pendiri Kampung Konservasi Kelor di Ngawenombo, Blora
Share:

0 komentar:

Posting Komentar

SUARA BLORA MENYAJIKAN INFORMASI BERITA PERISTIWA SEPUTAR WILAYAH KOTA BLORA DAN SEKITARNYA

Sponsor