Menyajikan Berbagai Berita, Peristiwa dan Informasi di Seputar Kota Kabupaten Blora dan Sekitarnya

Minggu, 18 November 2018

Revolusi Kelor dari Blora

Jumiati (38), warga Desa Ngawenombo, Blora, Jawa Tengah, Minggu (18/11/2018), memetik daun kelor yang ia tanam di tepi jalan depan rumahnya.
BLORA, SUARA BLORA ~ Jumiati (38), warga Desa Ngawenombo, Blora, Jawa Tengah, Minggu (18/11/2018), memetik daun kelor yang ia tanam di tepi jalan depan rumahnya. Warga di tepi hutan jati kini terbiasa mengonsumsi tanaman kelor yang ternyata kaya nutrisi dan mudah mengolahnya. Sumi dan sejumlah warga mengolah kelor menjadi dodol untuk dijual ke pasar maupun lewat pemasaran daring. Berkat kelor, warga mendapat tambahan penghasilan. Selain itu, anak-anak dan orangtua bertambah sehat.

Jumiati (38), warga Desa Ngawenombo, Kecamatan Kunduran, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, dua tahun terakhir tak lagi hanya mengandalkan singkong dan jagung untuk memenuhi asupan nutrisi keluarga. Dia kini mengolah tanaman kelor (Moringa oleifera).

”Saya mencampur daun kelor dengan sayur bayam atau sayur pepaya. Setelah mengonsumsi kelor, saya dan keluarga jadi jarang sakit,” ujar ibu satu anak itu, Minggu (18/11/2018).

Desa Ngawenombo bukan desa maju. Seperti kebanyakan perkampungan di tepian hutan jati Blora, warga mengandalkan pertanian palawija, di antaranya jagung, singkong, dan kedelai. Hasilnya pun pas-pasan. Oleh karena tidak ada jaringan irigasi besar, sawah padi sangat sedikit.

Infrastruktur yang buruk menyebabkan desa yang terletak sekitar 45 kilometer barat laut pusat kota Blora tersebut relatif terkucil. Apalagi, dari desa tetangga terdekat, Kedungwaru, hanya terhubung jalan tanah membelah hutan lebat sepanjang 2,5 kilometer. Saat hujan turun, jalanan menjadi becek dan berlumpur. Kendaraan bermotor susah lewat.

Sugianto (38), warga Ngawenombo lain, menuturkan, sebagian besar warga merupakan buruh tani ladang jagung berpenghasilan Rp 1 juta setahun. Kecukupan gizi menjadi masalah utama. Jauh dari pasar, warga sulit mengakses bahan makanan berkualitas, seperti wortel, telur, dan daging ayam. Jika ada, tiada uang untuk membeli.

Hal ini diakui Masrukin, Kepala Desa Ngawenombo. Padahal, dari 1.600 penduduk desa, sekitar 40 persen merupakan anak-anak dan orang muda yang perlu gizi tinggi. ”Program peningkatan nutrisi untuk masyarakat kurang mampu belum terprogram,” ujarnya.

Sebagian warga memelihara ayam. Bukan untuk persediaan pangan, melainkan sebagai tabungan untuk dijual saat butuh uang. Hampir 60 persen rumah warga berlantai tanah.

”Warga sakit pun hanya diobati secara tradisional. Sebab, kami jauh dari puskesmas. Untuk ke puskesmas yang berjarak lebih dari 5 kilometer, jalannya berlumpur. Warga hanya bisa pasrah,” kata Agus, warga lain.

Revolusi Nutrisi

Namun, semua berubah berkat tanaman kelor yang dikenalkan Aa Dudi Krisnadi dan Moringa Organik Indonesia (MOI). Warga tak hanya diajari menanam, tetapi juga mengolah makanan berbahan dasar daun kelor. Kini, warga mempunyai sedikitnya 2-5 pohon kelor di pelataran rumah. Menurut Masrukin, setelah dua tahun, daun kelor menjadi makanan berkhasiat menjaga kebugaran warga.

MOI merupakan rumah konservasi yang didirikan Aa Dudi Krisnadi, penggiat tanaman kelor dengan pengalaman lebih dari 15 tahun di Nusa Tenggara Timur (NTT). Dudi sudah 10 tahun tinggal di Kunduran, Blora, tempat asal Titik, istrinya.

Ditemui di Pusat Pemberdayaan Kelor di Ngawenombo, yang dinamakan Rumah Revolusi Nutrisi, Dudi menyatakan, ingin kelor menjadi media pemberdayaan masyarakat desa tepi hutan sekaligus meningkatkan nutrisi warga desa secara mandiri dan murah.

”Tanaman kelor, terutama daun, biji, dan bunga, mengandung 18 elemen asam amino yang diperlukan untuk membangun tubuh sehat dan kuat. Kandungan asam amino pada kelor paling tinggi dibandingkan sumber makanan lain. Hal itu terbukti dalam program nutrisi kelor di kawasan Afrika dan di NTT,” ujar Dudi yang berasal dari Pangandaran, Jawa Barat.

Setelah tinggal di Blora, banyak relasi, terutama dari luar negeri, mengunjungi dia. ”Setiap berkunjung, mereka bertanya, kok tidak punya kebun kelor di Kunduran. Itu yang bikin saya risih dan terpacu mengembangkan kebun di sini,” katanya.

Pada 2015, Dudi merintis kampung konservasi kelor. Desa Ngawenombo dipilih setelah bertemu dengan Agus, pemilik kebun yang juga bersemangat membuka perkebunan kelor. Kebun itu berada di tengah hutan, berdampingan dengan hutan jati dan ladang tebu.

Selain kebun kelor seluas 3 hektar, mereka juga mengembangkan Rumah Revolusi Nutrisi MOI di lahan seluas 1,5 hektar. Di rumah MOI, warga, termasuk para tamu, diajak mengenal kelor. Mereka diajari mulai dari pengolahan lahan, pembibitan, perawatan, hingga cara pemanenan dan pengolahan secara rinci.

Sejak 2015, lahan singkong di belakang permukiman warga berubah menjadi perkebunan kelor. Pohon dibuat pendek, setinggi 1 meter dari aslinya yang bisa mencapai 5 meter-6 meter. Hal itu memudahkan saat memanen. Sekali pemetikan melibatkan lebih dari 60 warga yang masing-masing bisa mendapat upah hingga Rp 1 juta.

Kandungan nutrisi kelor hasil panen kebun di Blora mampu mengungguli produk serupa di NTT. Struktur unsur hara di Ngawenombo sangat baik untuk pertumbuhan kelor.

Manfaat Ekonomi

Manajer Kebun Kelor Desa Ngawenombo Bambang Purwanto menuturkan, selain nutrisi, warga diharapkan mendapat penghasilan tambahan dari olahan kelor. Mereka diajari mengolah kelor untuk berbagai campuran makanan, seperti dodol kelor dan brem, hingga minyak kelor untuk keperluan kosmetik.

”Warga juga diajari membuat pupuk dan pakan ternak untuk kambing, sapi, dan ayam. Pupuk dari bahan kelor sangat baik untuk sayuran maupun palawija,” ujar Bambang.

Ibu Wiwik, misalnya, mengaku setiap panen bisa membuat 6 kilogram-10 kilogram dodol kelor. Selain dikonsumsi sendiri, dodol kelor juga dijual ke pasar tradisional di Kunduran dan Tondanan. Bahkan, kini juga lewat pemasaran dalam jaringan (daring). ”Dari usaha dodol, ada tambahan penghasilan Rp 600.000,-/hari” ujarnya.



Nilai ekonomi kelor cukup besar. Daun yang diolah menjadi serbuk dihargai Rp 2 juta per kilogram. Minyak hasil olahan biji kelor laku Rp 2,5 juta per liter. Pengolah juga tidak repot karena pembeli datang sendiri, termasuk pemasaran daring.

Yang membanggakan warga, Ngawenombo yang dulu sunyi kini ramai dikunjungi. Bukan hanya dari Indonesia, melainkan juga dari Jerman, Israel, Haiti, Malaysia, Perancis, Yaman, Qatar, Kanada, Amerika Serikat, Belgia, dan Australia.

Layaknya peribahasa, dunia tak selebar daun kelor. Bagi warga Ngawenombo, kelor benar-benar memberikan harapan baru, dunia dengan banyak kesempatan baru bagi yang ingin terus berusaha dan pantang menyerah.
Share:

Dudi Krisnadi dan Revolusi Kelor

Dudi Krisnadi Pemilik Moringa Organik Indonesia, Blora
Blora, SUARA BLORA ~ Resah melihat potensi orang muda desa-desa tepian hutan di Kabupaten Blora, Jawa Tengah yang kurang gizi, Dudi Krisnadi tergerak. Lewat daun kelor, dia tak saja menambah asupan nutrisi warga, tetapi turut membuka ketertinggalan mereka dari dunia luar.

“Bila memikirkan masa depan Indonesia, muncul kegelisahan saat melihat potensi hebat anak-anak muda desa di tepi hutan. Banyak dari tunas-tunas muda itu kekurangan gizi dan nutrisi,” tutur Dudi, pendiri Kampung Konservasi Kelor Desa Ngawenombo, Kecamatan Kunduran, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, ditemui Minggu (18/11/2018).

Dudi berkaca pada data statistik yang menyebutkan bakal terjadi bonus demografi pada 2035 yang memungkinkan sekitar 70 persen warga Indonesia saat itu didominasi generasi muda. Untuk itu, generasi muda bangsa, harus kuat, sehat, tidak mudah sakit, dan terhindar dari stunting sehingga mampu bersaing dengan bangsa lain.

Kegelisahan Dudi dimulai sejak 2005 saat menjadi pemerhati dan pemberdaya warga desa tepi hutan. Saat itu, dia ikut melakukan survei di sekitar 6.000 desa-desa tepi hutan di Jawa dan Madura. Sebagian besar warganya hidup memprihatinkan, tak punya lahan luas, dengan pilihan tanaman pangan terbatas.

Kekurangan gizi terjadi akibat kemiskinan. Masa depan mereka bergantung ketersediaan nutrisi serta makanan bergizi yang mudah terjangkau dan murah

Mereka menumpang bertani di lahan milik Perhutani. Jauh dari sumber irigasi besar, menyebabkan petani desa hutan hanya menanam jagung, kedelai, dan sayuran. Infrastruktur desa pun minim, akses jalan terbatas dan pusat kesehatan jauh.

“Kekurangan gizi terjadi akibat kemiskinan. Masa depan mereka bergantung ketersediaan nutrisi serta makanan bergizi yang mudah terjangkau dan murah,” ujar Dudi.

Dudi Krisnadi Perintis Kampung Konservasi Kelor Desa Ngawenombo, Kecamatan Kunduran, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.

Beruntung, Dudi pernah menjadi pengurus International Association Agricultura Student (IAAS) Region Asia Pasifik, 1993-1994. Kegiatannya, salah satunya peningkatan nutrisi melalui potensi tanaman lokal. Pada kasus kelaparan di Afrika, masyarakat di sana dapat diselamatkan lewat penyebaran produk berbahan baku daun kelor (Moringa oleifera).

Disponsori badan kesehatan dunia (World Health Organization/WHO) dan organisasi pangan dunia (Food and Agricultura Organization/FAO) dan lainnya, kampanye kelor jadi senjata ampuh meningkatkan kecukupan nutrisi penduduk negara miskin.

Sekitar 2001, kampanye kelor sampai ke Tanah Air, tepatnya di Nusa Tenggara Timur (NTT). Selama 15 tahun, Dudi ikut mengembangkan penanaman puluhan ribu hektar pohon kelor. Kelor menjadi tanaman ampuh membantu warga, tak hanya NTT tetapi juga di daerah miskin lainnya.

“Tanaman kelor dapat dimanfaatkan mulai dari biji, daun hingga bunganya. Kelor itu bukan obat, namun digolongkan sebagai bahan suplemen untuk tambahan nutrisi,” ujar Dudi.

Menepis unsur mistis

Kehadiran Dudi di Blora, dimulai sejak 10 tahun lalu, saat menikah dengan Titik, warga Kunduran. Dia kerap tinggal lama di kampung istrinya. “Banyak relasi menanyakan apa ada kebun kelor di Kunduran. Itu membuat saya terusik,” ujar Dudi.

Akhirnya, pada 2015, dia bekerja sama dengan Agus, seorang juragan pemilik kebun tebu di Desa Ngawenombo, daerah pelosok berjarak 7 kilometer dari pusat kecamatan Kunduran. Desa itu terletak di tepi hutan jati.

Kalau ada orang kesurupan atau maling yang kebal, biasanya pulih atau ilmu hitamnya rontok setelah disabeti tubuhnya pakai pohon kelor

Akhirnya, di lahan seluas 3 hektar bekas lahan tebu, Dudi dan pekerjanya merintis kebun kelor. Pada awalnya, warga menentangnya. Warga sekitar kebun hingga sejumlah perangkat desa, marah dan mengusirnya. Pernah, suatu kali, tanaman kelor yang sudah mekar di tengah perkebunan tebu, dicabuti. Usut punya usut ternyata kelor turun temurun dianggap mistis dan tanaman pengusir setan.

“Jadi, kalau ada orang kesurupan atau maling yang kebal, biasanya pulih atau ilmu hitamnya rontok setelah disabeti tubuhnya pakai pohon kelor,” cetus Dudi.

Akhirnya, dibantu beberapa relasi Dudi dari luar negeri, secara bertahap, warga Ngawenombo bisa menerima pengembangan tanaman kelor di desa mereka. Hingga kini, telah tertanam lebih dari 70.000 pohon. Pohon kelor sengaja dibuat bonsai, setinggi hanya 1,5 meter dan daun-daunnya dipotong rata sehingga dari jauh mirip perkebunan teh.

Setelah usianya dua tahun, kelor bisa dipanen. Setiap panen, Dudi melibatkan lebih dari 50 warga sekitar dengan total upah petik mencapai Rp 60 juta. Dia mengajari cara pengolahan, penanganan, dan mengedukasi pemanfaatan daun kelor untuk menambah gizi dan nutrisi keluarga.

Dudi juga membagikan bibit kelor ke warga, supaya bisa ditanam di rumah masing-masing sehingga bisa memanen untuk konsumsi harian.

Revolusi kelor

Kampung Konservasi Kelor di Ngawenombo, menjadi tonggak bagi Dudi memulai revolusi nutrisi murah dan terjangkau. Kampung itu diberi semboyan, “Kelor, The Spirit of Blora”. Di kompleks itu, Dudi juga membangun Puri Kelor Indonesia bernama Kelorina sebagai pusat pendidikan dan pelatihan kelor.

Dudi Krisnadi merintis perkebunan kelor di Desa Ngawenombo, Kecamatan Kunduran, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
Dia juga membangun Laboratorium Moringa at Fertilezer, untuk pembelajaran pupuk organik dari kelor, berikut kebun percontohan tanaman holtikulutra yang berkembang dari hasil pupuk organik kelor.

Melalui unit usaha PT Moringa Organik Indonesia, daun kelor dari kebun di Ngawenombo, diolah menjadi serbuk dan juga minyak. Produk olahan berbahan kelor itu sepenuhnya digarap oleh pekerja, warga setempat, yang sudah mendapat pelatihan.

Kampung Konservasi Kelor juga membuka peluang bagi kalangan umum untuk belajar pengolahan kelor. Peserta pelatihan mulai dari perorangan hingga rombongan. Peserta dari luar kota, disediakan rumah inap (homestay). Perlahan, kelor juga menjadi daya tarik wisata desa. Tak hanya domestik, pengunjung dari luar negeri tercatat sudah berasal dari 13 negara, di antaranya Israel, Haiti, dan Amerika Serikat. Pengunjung yang datang ke Puri Kelorina, selain belajar seluk-beluk tanaman kelor, juga bisa menikmati hidangan makanan berbahan kelor yang menjadi menu wajibnya.

Di Laboratorium Moringa, pengolahan kelor terus dikembangkan. Tak hanya daun yang diolah, biji dan bunga mulai dimanfaatkan untuk bahan komestik dalam bentuk krim, sabun, parfum, hingga pomade.

Ibu-ibu setempat dilatih membuat aneka makanan seperti dodol, puding, cincau, es krim, ekstrak, dan serbuk kelor. Mereka yang mahir membuat dodol kelor, memperoleh tambahan penghasilan antara Rp 500.000 dan Rp 1 juta per bulan.

Warga Ngawenombo kini bangga, desa mereka berperan dalam peningkatan gizi masyarakat. Kelor telah mengangkat peradaban desa di tepian hutan jati tersebut.


Dudi Krisnadi
Lahir: Pengandaran, 15 Maret 1969
Istri: Titik Marwiyah
Pendidikan: Sarjana Agronomi, Fakultas. Pertanian Universitas Siliwangi, Tasikmalaya

Aktivitas :
– Pemilik Moringa Organik Indonesia, Blora
– Pemerhati Masyarakat Desa Hutan
– Pendiri Taruna Desa Hutan Indonesia
– Pendiri Kampung Konservasi Kelor di Ngawenombo, Blora
Share:

Sabtu, 17 November 2018

Brem Kelor Siap Ekspor ke Afrika Selatan

Pemilik Moringa Organik Indonesia di Desa Ngawenombo, Blora, Jawa Tengah, Aa Dudi Krisnadi di samping sejumlah produk olahan dari tanaman kelor, Minggu (18/11)(SuaraBlora.site)



Blora, SUARA BLORA ~ Diversifikasi makanan bergizi berbahan kelor (Moringa oleifera), tengah naik daun. Berbagai makanan olahan berbahan daun kelor dari Kabupaten Blora, Jawa Tengah, bahkan telah diekspor ke sejumlah negara. Bahkan, dalam waktu dekat, brem kelor akan diekspor ke Afrika Selatan.

Pemilik Moringa Organik (MOI) Indonesia, Aa Dudi Krisnadi, Minggu (18/11) saat ditemui di Kampung Konservasi Kelor di Desa Ngawenombo, Kecamatan Kunduran, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, menyebutkan, ekspor brem berbahan kelor itu sebanyak satu kontainer.

“Brem kelor bagian dari puluhan produk yang dihasilkan oleh Moringa Organik Indonesia. Bahan kelor tak hanya berasal dari perkebunan kelor di Ngawenombo tetapi juga bahan kelor diambilkan dari kebun di Magetan Jawa Timur,” ujar Dudi Krisnadi, pria kelahiran Pangandaran, Jawa Barat yang membangun MOI sejak 2015 di Kabupaten Blora.

Menurut Dudi Krisnadi, brem kelor menjadi produk terakhir yang sudah diekspor. Di bawah binaan lembaga mitra dari Jerman, produk tanaman kelor, khususnya dari pengolahan daun, sudah banyak yang diekspor ke luar negeri seperti Jerman, Timur Tengah, Afrika dan negara-negara Asia Tenggara.

Demplot rumah hijau untuk pengembangan holtikultura di pertanian hidroponik dengan pupuk organik kelor milik Moringa Organik Indonesia, yang dikembangkan Dudi Krisnadi, Minggu (18/11).
Dudi mengaku, selama ini dirinya memang berkecimpung dalam pengembangan budidaya kelor di Nusa Tenggara Timur (NTT) sejak 2001. Hal itu seiring hasil penelitian sejumlah lembaga dunia yang berkecimpungan dalam bidang kesehatan dan peningkatan sumber daya manusia yakni Food and Agricultura Organization (FAO) untuk bidang pangan, dan World Health Organization (WHO). Kelor ternyata mampu menyelamatkan kehidupan banyak orang Afrika dari kekurangan gizi.

Kelor mengandung 18 macam asam amino, untuk mempercepat pemulihan dan membangun tubuh yang sehat dan memiliki daya tahan. Hal ini cocok sebagai makanan kaya nutrisi untuk warga miskin. Hasil kelor dengan kandungan terbaik saat ini baru dihasilkan dari kebun di daerah Blora.

Manager kebun tanaman kelor di Desa Ngawenombo, Blora, Jateng, Bambang Heru di tengah sebagian lahan kelor seluas 3 hektar

Di Desa Ngawenombo ini, Dudi Krisnadi bekerjasama dengan Bambang Heru dan Agus, seorang pengusaha lokal mengembangkan tanaman kelor di lahan yang berada di tengah kawasan hutan jati dengan luas lahan tiga hektar. Untuk menampung hasil panen daun kelor itu, tersedia dua unit mesin pengering berkapasitas 200 kilogram. Hasil daun kelor yang kering kemudian diolah berbagai macam produk mulai dari coklat, brem, minyak untuk bahan kosmetik sampai pupuk organik. Produk kelor dari desa ini diolah untuk kategori food (makanan), feed (pangan), dan fertilizer (pupuk).

Tanaman kelor bisa dipanen sepanjang tahun. Setiap kali panen melibatkan lebih dari 50 warga desa, terutama kaum perempuan sebagai bagian upaya pemberdayaan warga setempat. Warga desa yang tinggal di kawasan tepi hutan itu juga diajari cara mengolah kelor untuk makanan maupun bahan pangan seperti dodol, brem, dan coklat.


Aneka produk hasil olahan Moringa Organik Indonesia, yang kini mendunia karena kerap jadi obyek studi peminat tanaman kelor dari luar negeri maupun dalam negeri.
Salah satu manager lapangan di perkebunan kelor MOI, Bambang Heru mengemukakan, tanaman kelor yang dikembangkan telah diatur dan dibonsai sehingga pohonnya tidak tinggi. Rata-rata hanya 1,5 meter, sehingga hamparan kebun justru mirip kebun teh. Hal itu diterapkan supaya daun, biji, dan bunga kelor mudah dipetik.

Untuk mengembangkan penelitian mengenai tanaman kelor, Dudi juga membangun Kampung Konservasi Kelor. Kampung ini menempati lahan seluas 1,5 hektar, terdiri dari pusat produksi makanan dan bahan pangan, kemudian ada puluhan rumah inap atau homestay untuk para peserta pelatihan kelor.

Selain itu ada pula rumah hijau yang berisi aneka tanaman sayuran unggul dalam konsep hidroponik, yang berkembang dari pemupukan organik kelor. Untuk kepentingan pengembangan kawasan konservasi ini, Dudi menanamkan investasi sekitar Rp 1 miliar sejak 2015. “Produk dari kelor ini sebagian untuk pasar ekspor, sebagian lagi dipasarkan dalam negeri,” ujar Dudi.

Share:

DODOL KELOR ATAU JENANG KELOR

DODOL KELOR/JENANG KELOR OLEH-OLEH DARI BLORA(SuaraBlora.site)

Blora, SUARA BLORA ~ Dodol adalah panganan manis dari Indonesia juga Malaysia. Proses pembuatan dodol bermutu tinggi memerlukan waktu yang lama dan membutuhkan keahlian khusus. Bahan utama membuat dodol adalah santan kelapa, tepung ketan, gula pasir, gula merah, dan garam. Bahan tambahan pada dodol menentukan rasa. Dodol dari durian disebut dodol durian, dodol dari sirsak disebut dodol sirsak, dodol dari nangka disebut dodol nangka, dodol dari jahe disebut dodol jahe.Dodol khas Garut disebut dodol Garut. Dodol khas Kandangan, Kalimantan Selatan disebut dodol Kandangan. Dodol durian juga disebut lempok. Bila hanya disebut dodol saja, maka dodol tersebut hanya dibuat dari tepung ketan, gula merah, dan santan.

Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dodol disebut jenang. Jenang lebih lembek daripada dodol, lebih basah berminyak, dan umumnya dijual dalam bentuk lempengan atau plastikan. Jenang diiris sesuai permintaan pembeli. Dodol lebih kering (kesat), dipotong dengan ukuran 2 cm×10 cm×3 cm.Pembungkus dodol berupa plastik atau kertas roti, dan dijual dalam jumlah besar di dalam kardus. Saat ini dodol mulai diminati konsumen dari negara lain, antara lain Belanda, Brunei Darussalam, Singapura, dan Malaysia.

Kini telah hadir jenis varian dodol baru yang khas dari kota Blora yaitu DODOL KELOR atau JENANG KELOR. Varian ini diolah dari bahan-bahan alami yang sangat bernutrisi dan penuh gizi.
Dalam tahap pembuatannya, bahan-bahan dicampur bersama dalam kuali yang besar dan dimasak dengan api sedang. Dodol yang dimasak tidak boleh dibiarkan tanpa pengawasan, karena jika dibiarkan begitu saja, maka dodol tersebut akan hangus pada bagian bawahnya dan akan membentuk kerak. Oleh sebab itu, dalam proses pembuatannya campuran dodol harus diaduk terus menerus untuk mendapatkan hasil yang baik. Waktu pemasakan dodol kurang lebih membutuhkan waktu 4 jam dan jika kurang dari itu, dodol yang dimasak akan kurang enak untuk dimakan. Setelah 2 jam, pada umumnya campuran dodol tersebut akan berubah warnanya menjadi cokelat pekat. Pada saat itu juga campuran dodol tersebut akan mendidih dan mengeluarkan gelembung-gelembung udara.

https://wa.me/6289505053503?text=Assalamuallaikum%2C%20Hallo%20saya%20ingin%20pesan%20dodol%2Fjenang%20kelor.....%20Kg
Dodol/Jenang Kelor The Royal

Untuk selanjutnya, dodol harus diaduk agar gelembung-gelembung udara yang terbentuk tidak meluap keluar dari kuali sampai saat dodol tersebut matang dan siap untuk diangkat. Yang terakhir, dodol tersebut harus didinginkan dalam periuk yang besar. Untuk mendapatkan hasil yang baik dan rasa yang sedap, dodol harus berwarna coklat tua, berkilat dan pekat. Setelah didinginkan, dodol tersebut bisa dipotong-potong dan dimakan. Dodol untuk dijual, dipotong-potong atau dibentuk dalam ukuran kecil sebelum dibungkus dengan kertas minyak atau plastik. Biasanya dodol dihidangkan kepada para tamu di hari-hari tertentu seperti hari-hari perayaan besar.



Share:
SUARA BLORA MENYAJIKAN INFORMASI BERITA PERISTIWA SEPUTAR WILAYAH KOTA BLORA DAN SEKITARNYA

Sponsor